Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

100 Tahun Kiprah Muhammadiyah: Kiprah Menabur Amal (Bagian 1)

100 Tahun Kiprah Muhammadiyah: Kiprah Menabur Amal

1. Organisasi Islam generasi awal yang masih eksis hingga kini 

Lahir pada 08 Dzulhijjah 1330 Hijriyah atau 18 November 1912 Miladiyah, Muhammadiyah merupakan organisasi sosial kebangsaan dan keagamaan generasi awal di tanah air. Bersama Sarikat Islam yang lahir pada 01 Dzulhijjah 1330 H bertepatan 11 November 1912 M, berdirinya Muhammadiyah mendahului Perhimpunan AlIrsyad Al-Islamiyyah yang didirikan di Jakarta pada 15 Syawwal 1332 H bertepatan 6 September 1914 M, Mathlaul Anwar pada 10 Ramadhan 1334 H bertepatan 10 Juli 1916 M,  Persatuan Islam (Persis) yang lahir pada 1 Shafar 1342 H bertepatan 12 September 1923 di Bandung, dan Nahdhatul Ulama (NU) lahir pada 16 Rajab 1344 H bertepatan 31 Januari 1926 M, dan berbagai organisasi Islam lain seperti Nahdlatul Wathan, Al-Washliyah, dan lain sebagainya. 
100 Tahun Kiprah Muhammadiyah: Kiprah Menabur Amal

Kelahiran Muhammadiyah ini tak lepas kondisi di lingkungan Kraton Ngayogyakarta yang banyak menimbulkan tanda tanya di benak Ahmad Dahlan. Hingga akhirnya ketika ia menjabat sebagai Khatib 'Am menggantikan ayahnya yang wafat, ia banyak menyampaikan apa yang menurutnya benar, walaupun bertentangan dengan pemikiran banyak orang, bahkan para Kiai, saat itu. 

Sebelum mendirikan persyarikatan ini, Dahlan terlebih dahulu menjalani ‘training keorganisasian’ di Boedi Oetomo, organisasi pergerakan generasi awal yang dimotori oleh Dr. Sutomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Soeraji. Di Boedi Oetomo inilah, Kiai Dahlan sering berdikusi dengan para aktivis BO. Hingga akhirnya Boedi Oetomo pun menawarkan bantuan dalam usaha Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Hanya saja ada syarat yang diberikan oleh pihak Boedi Oetomo, yakni setiap anggota Muhammadiyah juga merupakan anggota Boedi Oetomo. 

Tidak banyak organisasi atau perhimpunan yang mampu bertahan selama 1 abad. Bahkan ada pameo yang mengatakan, siklus organisasi itu hanya 100 tahun, setelah itu akan perlahan mati dan digantikan oleh kehadiran organisasi baru lainnya. Sebuah pameo yang tak pernah ada penelitian validnya. Namun demikian, begitulah memang kenyataannya. Kini, Muhammadiyah adalah sedikit dari organisasi atau perhimpunan di Indonesia yang masih eksis hingga setelah berumur 100 tahun.

2. Peletak Dasar Pendidikan Islam Modern 

Di saat para Kiai masih menganggap sekolah yang memakai kursi dan meja untuk belajar itu merupakan sekolah orang kafir, Ahmad Dahlan melampaui pemikiran itu dengan mendirikan sekolah yang bahkan tidak hanya mengajarkan ilmu agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu umum. 

Tepatnya pada tahun 1910, Ahmad Dahlan mulai menjalankan sekolah tersebut. Dengan jumlah siswa 8 orang, sekolah itu diselenggarakan di ruang tamu kediaman Kiai Dahlan. 

Pada 1 Desember 1911, sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan itu diresmikan. Dengan menggunakan nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, jumlah murid saat diresmikan 29 orang. Madrasah itu kemudian berubah nama menjadi Qismul Arqo. Lalu dirubah lagi tahun 1923 menjadi Kweekschool Islam. Pada 1927, para santriwati atau siswa perempuan dipisahkan dan sekolahnya diberi nama Kweekschool Isteri. Kedua sekolah inilah, Kweekschool dan Kweekschool Isteri yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta (1930), salah satu sekolah yang kini menjadi kawah candradimuka bagi kaderkader Muhammadiyah.

3. Organisasi kemasyarakatan yang tua dan besar di Indonesia dan dunia 

Muhammadiyah yang berdiri pada 18 November 1912 adalah organisasi tua, ia menjadi yang  tertua di negeri ini karena organisasi yang lahir sebelumnya atau pada saat yang hampir bersamaan banyak yang sudah tinggal nama dalam sejarah. Dalam usia yang telah mencapai satu abad (103 tahun dalam kalender hijriyah) gerakan Islam ini sebagai contoh terbaik bagi gerakan modernisme Islam yang masih mampu menunjukkan elan vitalnya untuk tetap survive dan berkiprah dalam percaturan kehidupan ummat manusia. 

Kebesaran Muhammadiyah agaknya lebih terletak pada amal nyata, yaitu amal usaha-amal usaha Muhammadiyah seperti sekolah/perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, dan sebagainya yang demikian banyak jumlahnya tersebar di pelbagai penjuru Nusantara. Perguruan tinggi Muhammadiyah terdata sejumlah 157 buah (Data Majelis Dikti PP Muhammadiyah, Agustus 2012), beberapa di antaranya adalah universitas besar di pulau-pulau utama Nusantara. Selain itu tercatat 4623 Taman Kanak-Kanak/Taman Pendidikan al-Qur’an, 2.604 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, 1.772 SMP/Madrasah Tsanawiyah, 1.143 SMA/SMK/ Madrasah Aliyah, 67 Pondok Pesantren (104 versi Ittihadul Ma’had Muham-madiyah), 71 Sekolah Luar Biasa. Muhammadiyah juga memiliki 457 Rumah Sakit/Rumah Bersalin/BKIA, 318 Panti Asuhan, 54 Panti Jompo, 82 Rehabilitasi Cacat dan 11.198 Masjid/Musholla yang  tersebar di pelbagai pelosok tanah air.

Melihat pada skala amal usaha yang demikian besar, maka dapat dikatakan Muhammadiyah adalah sebuah gerakan modernis di dunia yang menuai keberhasilan yang signifikan. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin Sayyid Qutb di Mesir dan Jama’at Islam pimpinan Abdul A’la Al-Maududi di Pakistan, yang keduanya juga termasuk gerakan Islam modernis, jika diukur segi ini, jauh dibanding Muhammadiyah. 

4. Pelopor Gerakan Emansipasi Perempuan  

Muhammadiyah dapat dikatakan menjadi salah satu pelopor gerakan emansipasi perempuan di Indonesia. K.H. Ahmad Dahlan sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan para gadis di kampung Kauman, baik pendidikan agama maupun ilmu umum. Pada 1913, tiga orang wanita dari Kauman, Yogyakarta masuk ke sekolah umum Neutraal Meisjes School (kini Sekolah Dasar Negeri Ngupasan) atas dorongan Kiai Dahlan. Mereka adalah Siti Bariyah (puteri H. Hasyim Ismail), Siti Wadingah, dan Siti Dawimah (kemenakan H. Fakhrudin).  

Beberapa wanita yang mendapatkan didikan langsung dari Kiai Dahlan, di antaranya adalah ketiga gadis yang masuk Neutraal Meisjes School yakni Siti Bariyah, Siti Wadingah, Siti Dawimah, selain itu puteri Dahlan sendiri, Siti Busyro, Siti Dalalah, dan Siti Badilah Zuber.  

Dari murid-murid Ahmad Dahlan ini, baik yang dididik di Madrasah Diniyah, anggota kursus agama, dan murid-murid Neutraal Meisjes School, terbentuklah kelompok pengajian yang diberi nama Sapa Tresna. Sapa Tresna inilah cikal bakal dari organisasi ‘Aisyiyah yang dikenal sekarang.  

5. ‘Aisyiyah, Organisasi Pergerakan Perempuan Indonesia Sejak 1917 


Sama seperti induknya, Muhammadiyah, ‘Aisyiyah juga tercatat sebagai organisasi atau perhimpunan wanita Indonesia yang pertama kali didirikan, dan masih eksis hingga saat ini di usianya yang hampir satu abad. Berdiri pada 27 Rajab 1335 H bertepatan dengan 19 Mei 1917 M. Generasi awal ‘Aisyiyah adalah murid-murid wanita Kiai Dahlan yang langsung menerima tempaan dari pendiri Persyarikatan ini. Beberapa di antaranya adalah Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Busyro, Siti Dawingah, Siti Badilah Zuber, dan Siti Dalalah.

Bermula dari sebuah kelompok pengajian wanita yang dinamai Sapa Tresna. Selain Sapa Tresna, juga ada pengajian Wal Ashri yang diselenggarakan setelah Ashar dan pengajian Maghribi Class yang dihelat setelah Maghrib. Para kaum wanita ini kemudian makin menyadari pentingnya sebuah perkumpulan. Akhirnya berdirilah organisasi perempuan Muhammadiyah yang diberi nama ‘Aisyiyah, atas usulan Haji Fakhrudin. Siti Bariyah kemudian diberikan amanah untuk memimpin ‘Aisyiyah sebagai ketua (president) pertama. 

‘Aisyiyah berkembang pesat dan menemukan bentuknya sebagai organisasi wanita modern. ‘Aisyiyah mengembangkan berbagai program untuk pembinaan dan pendidikan wanita. Diantara aktivitas ‘Aisyiyah ialah Siswa Praja Wanita yang bertugas membina dan mengembangkan puteri-puteri di luar sekolah sebagai kader ‘Aisyiyah. ‘Aisyiyah juga mendirikan Urusan Madrasah bertugas mengurusi sekolah/madrasah khusus puteri, Urusan Tabligh yang mengurusi penyiaran agama lewat pengajian, kursus dan asrama, serta Urusan Wal ’Ashri yang mengusahakan beasiswa untuk siswa yang kurang mampu. Pada tahun 1935, ‘Aisyiyah mendirikan Urusan Adz-Dzakirat yang bertugas mencari dana untuk membangun Gedung ‘Aisyiyah dan modal mendirikan koperasi.  Perkembangan ‘Aisyiyah selanjutnya pada tahun 1939 mengalami titik kemajuan yang sangat pesat. ‘Aisyiyah menambah Urusan Pertolongan (PKU) yang bertugas menolong kesengsaraan umum. Oleh karena sekolah-sekolah putri yang didirikan sudah semakin banyak, maka Urusan Pengajaran pun didirikan di ‘Aisyiyah. Di samping itu, ‘Aisyiyah juga mendirikan Biro Konsultasi Keluarga.

Demikianlah, ‘Aisyiyah menjadi gerakan wanita Islam yang mendobrak kebekuan feodalisme dan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat pada masa itu, serta sekaligus melakukan advokasi pemberdayaan kaum perempuan.

6. ‘Aisyiyah Perintis Pendidikan Usia Dini dan Pendidikan Kaum Perempuan 

Pada tahun 1919, dua tahun setelah berdiri, ‘Aisyiyah merintis pendidikan dini untuk anak-anak yang saat itu dikenal dengan nama Frobelschool. Umumnya, frobelschool saat itu adalah sekolah untuk anak-anak dari kalangan bangsa Belanda dan kalangan tertentu bangsa Indonesia. Frobelschool ‘Aisyiyah ini merupakan Taman Kanan-Kanak pertama yang didirikan oleh bangsa Indonesia untuk semua kalangan. Selanjutnya Taman kanak-kanak ini diseragamkan namanya menjadi TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA) yang saat ini telah mencapai jumlah 5.865 TK di seluruh Indonesia. Pelopor Taman Kanak-kanak ‘Aisyiyah Bustanul Athfal ini tak lain adalah Siti Umniyah, salah satu murid K.H. Ahmad Dahlan. 

Dapat dikatakan, TK ABA merupakan amal usaha pokok dari setiap pimpinan Ranting ‘Aisyiyah. Selain TK, dalam dua dasa warsa terakhir di Indonesia berkembang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). ‘Aisyiyah mengambil peran penting dalam perkembangan dan penyebaran PAUD di seluruh Indonesia.  Dengan jumlah Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah sebanyak 6.924, ‘Aisyiyah memiliki 4.560 lembaga pendidikan, terdiri dari Kelompok Bermain, Taman Pengasuhan Anak, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Pendidikan Tinggi. Gerakan pemberantasan kebodohan juga menjadi salah satu pilar perjuangan ‘Aisyiyah dicanangkan dengan mengadakan pemberantasan buta huruf pertama kali, baik buta huruf arab maupun latin pada tahun 1923. Dalam kegiatan ini para peserta yang terdiri dari para gadis dan ibu-ibu rumah tangga belajar bersama dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia publik.

7. Aisyiyah, Pelopor Organisasi Perempuan Indonesia  

Kiai Dahlan sangat memperhatikan pembinaan terhadap wanita. Anak-anak perempuan yang potensial dibina dan dididik menjadi pemimpin, serta dipersiapkan untuk menjadi pengurus dalam organisasi wanita dalam Muhammadiyah. Anak-anak perempuan itu, meskipun usianya baru sekitar 15 tahunan, sudah diajak memikirkan soal-soal kemasyarakatan. 

‘Aisyiyah didirikan sebagai gerakan wanita didasari pertimbangan bahwa perjuangan wanita ini diharapkan dapat meniru perjuangan ‘Aisyah, isteri Nabi Muhammad, yang selalu membantu Rasulullah dalam berdakwah.

Karena prinsip gerakannya yang demikian itu, maka dalam konteks pergerakan kebangsaan pada waktu itu, ‘Aisyiyah turut memprakarsai dan membidani terbentuknya organisasi wanita pada tahun 1928. ‘Aisyiyah bersama dengan organisasi wanita lain bangkit berjuang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan kebodohan. Badan federasi ini diberi nama Kongres Perempuan Indonesia yang sekarang menjadi KOWANI (Kongres Wanita Indonesia). 

Tentang sejarah Congres Perempoean Indonesia yang pertama 22-25 Desember 1928 di Mataram (Yogyakarta) itu, Hoofbestuur ‘Aisyiyah mencatat bahwa Kongres dihadiri sekitar 1000 peserta. Kongres ini memutuskan pembentukan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPI) pada 25 Desember 1928. 

‘Aisyiyah termasuk pelopor dalam Komite Kongres dari 10 perkumpulan yang terdiri dari: Ismudiati (Wanita Oetama), Sunarjati (Poetri Indonesia), St. Sukaptinah (Jong Islamieten Bond), Nyi Hajar Dewantara (Taman Siswa), RA Sukonto (WO), St Munjiah (Aisyiyah), RA Hardjadiningrat (Wanita Katolik), Sujatin (PI), ST Hajinah (‘Aisyiyah) dan B Murjati (Jong Java). Selain itu, acara pembukaan Kongres ini dimeriahkan dengan lantunan Penembrana yang dilakukan oleh gadis-gadis Siswoprojo (siswi ‘Aisyiyah) dengan bahasa Arab dan Indonesia, yang isinya merupakan ucapan selamat datang dan memuji maksudnya kongres akan membuat persatuan perempuan Indonesia supaya tercapai.   

Kongres Perempuan I ini memiliki nilai penting kebangsaan, maka pada Kongres Perempuan III di Bandung, 23-27 Juli 1938 yang dipimpin Ny. Emma Puradireja, dicetuskan momentum Kongres Perempuan I itu sebagai hari Ibu yang diadakan tiap tanggal 22 Desember. Tanggal ini karena untuk bangkitnya gerakan kaum Ibu (perempuan) di tanah air dengan berhasilnya menyelenggarakan Kongres Perempuan. Kongres yang terselenggara di tengah rintangan dari golongan konservatif yang mencintai adat lama: kaum istri atau perempuan tidak perlu berkongres-kongres, cukup di dapur tempatnya, kaum isteri belum matang, belum bisa berdamai dalam perkumpulan.

8. Kiprah Aisyiyah di Masa Sekarang 

Dalam kiprahnya hampir satu abad di Indonesia, saat ini ‘Aisyiyah telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (setingkat Propinsi), 370 Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (setingkat kabupaten), 2332 Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (setingkat Kecamatan) dan 6924 Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah (setingkat Kelurahan).

 Selain itu, ‘Aisyiyah juga memiliki amal usaha yang bergerak diberbagai bidang yaitu : pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi dan pemberdayaan masyarakat.

Saat ini 'Aisyiyah telah dan tengah melakukan pengelolaan dan pembinaan sebanyak:  86 Kelompok Bermain/ Pendidikan Anak Usia Dini, 5865 Taman Kanak-Kanak, 380 Madrasah Diniyah, 668 TPA/TPQ, 2.920 IGABA, 399 IGA, 10 Sekolah Luar Biasa, 14 Sekolah Dasar, 5 SLTP, 10 Madrasah Tsanawiyah, 8 SMU, 2 SMKK, 2 Madrasah Aliyah, 5 Pesantren Putri, serta 28 pendidikan Luar Sekolah. ‘Aisyiyah juga dipercaya oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan ratusan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di seluruh Indonesia. Untuk pendidikan tinggi Aisyiyah memiliki 3 Perguruan Tinggi, 2 STIKES, 3 AKBID serta 2 AKPER di seluruh Indonesia.

Dalam bidang Kesehatan ‘Aisyiyah telah mengelola dan mengembangkan 10 RSKIA (Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak), 29 Klinik Bersalin, 232 BKIA/yandu, dan 35 Balai Pengobatan yang tersebar di seluruh Indonesia

Sebagai gerakan yang peduli dengan kesejahteraan sosial kemasyarakatan, ‘Aisyiyah hingga kini juga memiliki sekitar 459 amal usaha yang bergerak di bidang ini meliputi : Rumah Singgah Anak Jalanan, Panti Asuhan, Dana Santunan Sosial, Tim Pangrukti Jenazah dan Posyandu. ‘Aisyiyah menyadari, bahwa harkat martabat perempuan Indonesia tidak akan meningkat tanpa peningkatan kemampuan ekonomi di lingkungan perempuan. Oleh sebab itu, berbagai amal usaha yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi ini diantaranya koperasi, Baitul Maal wa Tamwil, Toko/ kios, BUEKA, Simpan Pinjam, industri rumah tangga, kursus ketrampilan dan arisan. Dalam program pemberdayaan Bina Usaha Ekonomi Keluarga ‘Aisyiyah (BUEKA) dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), Aisyiyah memiliki dan membina Badan Usaha Ekonomi sebanyak 1426 buah di Wilayah, Daerah dan Cabang yang berupa badan usaha koperasi, pertanian, industri rumah tangga, pedagang kecil/toko. 

‘Aisyiyah juga memiliki beragam kegiatan berbasis pemberdayaan masyarakat khususnya penyadaran terhadap kehidupan bermasyarakat muslim Indonesia. Hingga saat ini kegiatan yang mencakup pengajian, Qoryah Thayyibah, Kelompok Bimbingan Haji (KBIH), badan zakat infaq dan shodaqoh serta musholla berjumlah 3785.


Beberapa lembaga baik semi pemerintah maupun non pemerintah menjadi mitra kerja ‘Aisyiyah dalam rangka kepentingan sosial bersama antara lain: Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), peningktan Peranan Wanita untuk keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS), Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS), Yayasan Sayap Ibu, Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di samping itu, ‘Aisyiyah juga melakukan kerjasama dengan lembaga luar negeri dalam rangka kesejahteraan sosial, program kemanusiaan, sosialisasi, kampanye, seminar, workshop, melengkapi prasarana amal usaha, dan lain-lain. Di antara lembaga luar negeri yang pernah kerjasama dengan ‘Aisyiyah adalah: Oversea Education Fund (OEF), Mobil Oil, The Pathfinder Fund, UNICEF, UNESCO, WHO, John Hopkins University, USAID, AUSAID, NOVIB, The new Century Foundation, The Asia Foundation, Regional Islamicof South East Asia Pasific, World Conference of Religion and Peace, UNFPA, UNDP, World Bank, Parnership for Governance Reform in Indonesia,  beberapa kedutaan besar negara sahabat dan lain-lain.


(Muhammadiyah 100 tahun Menyinari Negeri, hal. 18-28)

Posting Komentar untuk "100 Tahun Kiprah Muhammadiyah: Kiprah Menabur Amal (Bagian 1)"

close